Di dalam sejarah, di luar surga, manusia kecewa. Tapi seperti harapan, kecewa juga lahir dari rongga yang bisa menelannya kembali. mungkin rongga itu sebenarnya rasa syukur yang luas tapi tak selalu jelas.
(Goenawan Mohamad)

Rabu, 14 Desember 2011

AJARAN HINDU DHARMA TENTANG ETIKA


AJARAN HINDU DHARMA TENTANG ETIKA
Oleh:
Juli Ahsani dan Abdurrohman 

BAB I
PENDAHULUAN
                                                                             
Segala puji bagi Tuhan, yang telah memberikan kita nikmat, rahmat dan hidayanhya.
Ucapan terima kasih kepada Dosen yang telah membimbing dan memberikan kesempatan kepada saya untuk mempresentasikan makalah ini, makalah dengan judul Ajaran Hindu Dharma Tentang Etika (Sila). Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin
Dalam kehidupan bermasyarakat seseorang tidak terlepas dari perbuatan yang baik maupun buruk. Maka untuk menuntun agar seseorang berprilaku baik terhadap sesama diperlukan adanya pedoman atau petunjuk, dalam hal ini yaitu etika agama.
Etika merupakan suatu hal yang sangat penting sebagai acuan dalam berprilaku. Baiknya suatu masyarakat atau individu dapat dilihat dari bagaimana dia menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan bagaimana dia berprilaku. Etika merupakan rasa cinta kasih, rasa kasih sayang, dimana seseorang yang menjalani dan melaksanakan etika itu karena ia mencintai dirinya sendiri dan menghargai orang lain.
Etika dalam agama Hindu dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tata nilai, tentang baik dan buruknya suatu perbuatan manusia, mengenai apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan, sehingga dengan demikian akan tercipta kehidupan yang rukun dan damai dalam kehidupan manusia.




BAB I
SEPUTAR ETIKA

A.    Makna Etika
Membicarakan tentang etika, kita akan menemukan banyak makna yang terkandung dalam kata tersebut. Hal ini karena pada dasarnya setiap tingkah laku manusia merupakan cerminan kepribadian seseorang itu. Baik buruknya tingkah laku merupakan manifesto dirinya sendiri. Sehingga sangat sulit untuk mendeskripsikan tingkah laku seseorang atau masyarakat. Terlepas dari itu semua, dalam hal ini kita akan membahas mengenai makna etika yang berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam berbagai versi secara umum.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika mempunyai tiga arti, antara lain:
  1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta hak dan kewajiban moral (akhlak).
  2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
  3. Nilai yang membahas mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan masyarakat.
Untuk lebih mudah memahami tentang etika, maka makna etika dapat dibedakan menjadi tiga makna (urutan yang dibalik), yaitu:[1]
  1. Nilai-nilai serta norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam hal ini etika dirumuskan sebagai sistem nilai yang bisa berfungsi baik dalam kehidupan manusia perseorangan maupun pada tarap sosial.
  2. Etika merupakan kumpulan asas atau nilai moral, dalam hal ini disebut sebagai kode etik.
  3. Norma diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang baik atau buruknya tingkah laku seseorang. Disini diartikan sebagai filsafat moral.
Disamping pengertian diatas, makna lain mengenai etika dapat dijelaskan sebagai berikut.[2]
  1. Etika mempunyai makna sama dengan moral yaitu suatu adat kebiasaan. Moral mengandung makna yang berkenaan dengan perbuatan yang baik dan buruk. Disamping itu dikenal juga konsep moralitas, yaitu sistem nilai yang terkandung dalam petuah, nasihat, perintah atau aturan yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan dan tentang bagaimana seharusnya manusia hidup agar menjadi lebih baik. Moralitas memberikan manusia petunjuk dan aturan tentang bagaimana harus hidup, bertindak yang baik dan menghindari perilaku yang tidak baik. Moralitas juga dapat diartikan sebagai kualitas perbuatan manusia, sehingga perbuatan manusia dapat dikatakan baik atau buruk, salah atau benar. Dalam hal ini moralitas itu bersumber dari hati nurani. Hati nurani itulah yang memerintahkan atau melarang seseorang untuk melakukan sesuatu. Perbedaan moral dan etika ialah: jika moral bersumber dari diri seseorang yaitu hati nuraninya, sedangkan etika berdasarkan kepada hal-hal diluar dirinya seperti kebiasaan atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.
  2. Etika disebut sebagai adat kebiasaan yaitu norma-norma yang dianut oleh kelompok, golongan atau masyarakat tertentu, baik mengenai perbuatan yang baik maupun perbuatan yang bruruk.
  3. Etika dikenal juga sebagai studi tentang prinsip-prinsip perilaku yang baik dan yang buruk. Dalam hal ini etika dikenal sebagai filsafat moral yang bertujuan mempelajari fakta pengalaman manusia yang mampu membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, dan hukumnya merupakan wajib untuk dilaksanakan bagi seluruh umat manusia. Hal ini karena manusia dihadapkan pada pilihan mengenai tindakan yang seharusnya dan tidak sepantasnya dilakukan, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.
Jika ditinjau dalam bahasa Yunani, maka etika itu berasal dari kata ethos yang artinya watak, perasaan, sikap, perilaku, karakter, tatakrama, tatasusila, sopan santun, cara berpikir dan lain-lain. Sedangkan bentuk jamaknya adalah ta etha yang berarti adat kebiasaan. Seiring dengan perkembangan zaman, kata etika lalu diartikan sebagai ilmu tentang sesuatu kebiasaan yang dilakukan, atau ilmu tentang adat kebiasaan, dan etika juga diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau moral.[3]
Agar kita memperoleh gambaran serta makna dari etika yang mempunyai implementasi arti sebagai ilmu, adat kebiasaan, filsafat moral dan sistem nilai, lebih jelasnya dapat kita lihat penjelasan berikut:[4]
  1. Etika ialah ilmu pengetahuan yang membahas tentang asas-asas akhlak-moral.
  2. Etika adalah sebuah tindakan refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok.
  3. Etika merupakan suatu ilmu tentang keusilaan yang menentukan bagaimana seharusnya manusia hidup dalam masyarakat mengenai apa yang baik dan apa yang buruk.
  4. Etika juga dapat diartikan sebagai kesusilaan, perasaan batin, atau kecendrungan batin untuk melakukan sesuatu kebaikan.
  5. Etika mempelajari tingkah laku manusia, bukan saja untuk menemukan kebenaran, tetapi juga kebaikan atas perilaku manusia.
  6. Etika memperhatikan serta mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Sehingga etika menghubungkan penggunaan akal budi individu dengan suatu objektivitas sebagai penentu kebenaran atau kesalahan dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain.
  7. Etika merupakan cabang dari ilmu filsafat yang disebut filsafat moral, yang berhubungan apa yang seharusnya secara moral dikatakan baik atau buruk, tentang karakter seseorang sebagai suatu studi untuk membedakan yang benar dari yang salah, dan yang baik dari yang buruk.
Dari penjelasan diatas banyak sekali kita dapatkan tentang makna etika, baik secara bahasa maupun secara istilah dan definisi. Pada intinya etika merupakan tatanan pergaulan yang melandasi tingkah laku manusia seperti bagaimana seseorang harus bersikap, berprilaku, serta bertanggung jawab, untuk dapat mencapai hubungan yang harmonis antar umat manusia. 
B.     Peranan dan Manfaat Etika
Sebagaimana kita ketahui bahwa etika merupakan tatanan yang melandasi tingkah laku manusia, dan dengan etika agar manusia bertingkah dan bersikap yang lebih baik. Untuk itu etika mempunyai banyak peranan, sebagaimana juga fungsinya yang menjadi suatu media pembimbing tingkah laku manusia, agar menjadi orang yang baik. Dalam hal ini etika dapat dikatakan sebagai pemberi arahan, garis patokan atau pedoman kepada manusia bagaimana sebaiknya bertingkah laku dalam masyarakat.
Sebagai petunjuk, etika memberikan arahan suatu perbuatan apakah itu perbuatan baik, salah, sehingga apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak. Tuntunan, bimbingan ataupun petunjuk sangat diperlukan agar nantinya manusia dapat menjalin hubungan yang baik dan harmonis sesamanya. Sebagai suatu norma, etika menjadi patokan tentang suatu perbuatan yang dilarang, sehingga masyarakat tentu harus mengikuti norma-norma yang berlaku tersebut. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat hidup dengan tertib, teratur, aman dan tentram demi tercapainya kehidupan yang sejahtera, bahagia, dan memperoleh ketenangan hidup bersama. Macam-macam norma: norma hukum, norma agama, norma sopan santun, norma adat, dan norma moral.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata menyebabkan peranan etika juga menjadi semakin menonjol. Hal ini karena kemajuan itu membawa nilai-nilai baru yang tidak sama dengan nilai-nilai lama.
Sebagai halnya dengan peranaan, etika juga mempunyai manfaat bagi manusia secara individu maupun kelompok. Manfaat etika antara lain:[5]
  1. Etika dapat mendorong serta mengajak seseorang untuk bersikap kritis dan rasional. Masyarakat dapat mengambil keputusan berdasarkan pandangannya sendiri akan tetapi harus dan dapat dipertanggung jawabkan.
  2. Etika juga dapat mengarahkan kepada masyarakat untuk berkembang menjadi masyarakat yang tertib, teratur, damai dengan cara menaati norma-norma yang telah ditetapkan. Dengan taat terhadap norma maka kelalaian-kelalaian yang sering terjadi dapat kembali dipulihkan agar tercipta suasana yang damai dan sejahtera.
C.    Fungsi Etika
Ada beberapa fungsi etika yang sangat perlu untuk diperhatikan oleh setiap masyarakat agar tercipta hidup yang harmonis dan rukun, fungsi tersebut ialah:[6]
  1. Etika berfungsi sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar dalam mengelola kehidupan ini tidak sampai bersifat tragis dan semena-mena. Etika selalu berusaha mencegah tersebarnya fracticida (act of breaking) yang secara legendaris dan historis mewarnai sejarah hidup manusia.
  2. Dalam dunia pendidikan, fungsi etika sangat penting sekali. Pendidikan yang sangat profesional sekalipun tanpa disertai mengenai pendidikan tentang tanggung jawab serta etika profesional tidaklah lengkap. Karena tanpa adanya landasan etika dan moral dalam mengemban profesi, tidak terbayangkan apa yang akan terjadi jika menimpa para insan mahasiswa sebagai penerus pembangunan bangsa.
  3. Etika juga berfungsi untuk membantu manusia mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang membingungkan. Etika merupakan pemikiran sistematis, sedang yang dihasilkannya bukanlah suatu kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.





BAB II
ETIKA DALAM AGAMA HINDU DHARMA

 A.    Kerangka Dasar Agama Hindu
Agama Hindu mempunyai bangunan dasar agama yang sangat ketat, hal ini sebagai pedoman bagi umat Hindu dalam menjalankan ibadah serta syariat agamanya sehari-hari. Semua ajaran tentang kerangka dasar ini bersumber dari Kitab Suci Weda dan Kitab-kitab Suci Agama Hindu lainnya. Kerangka dasar agama Hindu tersebut ialah:
  1. Tattwa atau Filsafat Agama Hindu
  2. Susila atau Etika Agama Hindu
  3. Upacara atau Ritual Agama Hindu
Bagi umat Hindu menjalani serta memahami ketiga kerangka dasar tersebut menjadi suatu kewajiban dan sangat penting. Oleh karenanya setiap umat Hindu akan dengan sungguh-sungguh melaksanakan ketiga kewajiban tersebut.
Tattwa merupakan inti ajaran Agama, sedangkan susila sebagai pelaksana ajaran dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Ida Sanghyang Widi, maka dilaksanakan pengorbanan suci yaitu berupa upacara atau ritual.  
B.     Pengertian Etika dalam Agama Hindu
Dalam agama Hindu etika dinamakan susila, yang berasal dari dua suku kata, su yang berarti baik, dan sila berarti kebiasaan atau tingkah laku perbuatan manusia yang baik. Dalam hal ini maka etika dalam agama Hindu dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tata nilai, tentang baik dan buruknya suatu perbuatan manusia, mengenai apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan, sehingga dengan demikian akan tercipta kehidupan yang rukun dan damai dalam kehidupan manusia. Pada dasarnya etika merupakan rasa cinta kasih, rasa kasih sayang, dimana seseorang yang menjalani dan melaksanakan etika itu karena ia mencintai dirinya sendiri dan menghargai orang lain.[7]
Etika menjadikan kehidupan masyarakat menjadi harmonis, karena saling menjunjung tinggi rasa saling menghargai antar sesama dan saling tolong menolong. Dengan etika akan membina masyarakat untuk menjadi anggota keluarga dan anggota masyarakat yang baik, menjadi warga negara yang mulia.
C.    Tujuan Etika dalam Agama Hindu
Tujuan diperintahkannya untuk menjalankan antara lain:
  1. Untuk membina agar umat Hindu dapat memelihara hubungan baik, hidup rukun dan harmonis di dalam keluarga maupun masyarakat.
  2. Untuk membina agar umat Hindu selalu bersikap dan bertingkah laku yang baik, kepada setiap orang tanpa pandang bulu.
  3. Untuk membina agar umat Hindu dapat menjadi manusia yang baik dan berbudi luhur.
  4. Untuk menghindarkan adanya hukum rimba di masyarakat, dimana yang kuat selalu menindas yang lemah.
Dengan tujuan-tujuan tersebut diharapka umat Hindu menjadi manusia yang berbudi luhur, cinta kedamaian, dan hidup rukun dalam negara dan bangsa.
D.    Etika Dalam Agama Hindu
Etika agama Hindu pada dasarnya mengajarkan aturan tingkah laku yang baik dan mulia. Dengan adanya pedoman tersebut diharapkan seluruh umat hidup dapat menjalani serta memahami secara baik dan benar. Kerangka dasar etika dalam Hindu Dharma antara lain:  
I.   Tri Kaya Parisuda
Tri Kaya Parisuda berasal dari kata tri artinya tiga, kaya berarti tingkah laku dan parisuda mulia atau bersih. Tri Kaya Parisuda dengan demikian berarti tiga tingkah laku yang mulia (baik).[8]
Adapun tiga tingkah laku yang baik termaksud adalah:
  1. Manacika (berpikir yang baik dan suci). Seseorang dapat dikatakan manacika apabila ia:
    1. Tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal.
    2. Tidak berpikir buruk terhadap sesama manusia atau mahluk lainnya.
    3. Yakin dan percaya terhadap hukum karma.
  2. Wacika (berkata yang baik dan benar). Seseorang dapat dinyatakan sebagai wacika, apabila ia:
    1. Tidak mencaci maki orang lain.
    2. Tidak berkata-kata yang kasar kepada orang lain.
    3. Tidak memfitnah atau mengadu domba
    4. Tidak ingkar janji.
  3. Kayika (berbuat yang baik dan jujur). Seseorang dapat dikatakan kayika, manakala ia:
    1. Tidak menyiksa, menyakiti atau membunuh.
    2. Tidak berbuat curang, mencuri atau merampok.
    3. Tidak berzina 
II.  Panca Yama Brata
Panca Yama Brata berasal dari tiga suku kata, yaitu panca berarti lima, yama artinya pengendalian dan brata yang berarti keinginan. Panca Yama Brata ialah lima keinginan untuk mengendalikan diri dari godaan-godaan nafsu yang tidak baik. Lima macam pengendalian diri yang perlu diperhatikan oleh umat Hindu ialah:[9]
  1. Ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh). Ahimsa berasal dari kata a yang berarti tidak, dan himsa yang berarti membunuh atau menyakiti. Jadi ahimsa berarti tidak membunuh atau tidak menyakiti orang (mahluk) lain. Menyakiti apalagi membunuh adalah suatu perbuatan dosa yang besar dan dilarang oleh Agama Hindu.  
  2. Brahmacari (berpikir suci, bersih dan jernih). Brahmacari berasal dari kata brahma yang berarti ilmu pengetahuan, dan car berarti bergerak. Jadi brahmacari maksudnya bergerak atau bertingkah laku dalam menuntut ilmu pengetahuan. Tegasnya bagaimana perilaku seseorang dalam mempelajari ilmu pengetahuan tentang ajaran-ajaran yang termuat dalam Kitab Suci Weda, harus selalu berpikir bersih dan jernih serta hanya memikirkan pelajaran atau ilmu pengetahuan saja dan tidak memikirkan masalah-masalah keduniawian.  
  3. Satya (kebenaran, kesetiaan dan kejujuran). Ada lima jenis satya yang disebut Panca Satya dan patut diperhatikan oleh umat Hindu, yakni: 
    1. Satya Wacana yaitu setia dan jujur dalam berkata-kata, tidak sombong, tidak mengucapkan kata-kata yang tidak sopan, tidak berkata-kata yang menyakitkan serta tidak memaki.
    2. Satya Hredaya yaitu setia terhadap kata hati dan selalu konsisten atau berpendirian teguh.
    3. Satya Laksana yaitu jujur dan bertanggung jawab terhadap apa yang diucapkan.
    4. Satya Mitra yaitu selalu setia kepada teman dan tidak pernah berkhianat.
    5. Satya Semaya yaitu selalu menepati janji, tidak pernah ingkar kepada janjinya.
  4. Awyawahara (tidak terikat keduniawian). Awyawahara berasal dari kata a yang berarti tidak, dan wyawahara yang artinya terikat dengan kehidupan duniawi. Dengan demikian awyawahara berarti tidak terikat dengan kehidupan duniawi.  
  5. Asteya atau Asteneya (tidak mencuri). Asteya berasal dari kata a yang berarti tidak, dan steya berarti mencuri atau memperkosa milik orang lain. Jadi asteya berarti tidak mencuri atau tidak ingin memiliki barang orang lain.
III. Dasa Yama Brata
Etika Dasa Yama Brata antara lain:[10]
  1. Anrsamsa (tidak kejam). Anrsamsa berasal dari kata a yang berarti tidak, dan nrsamsa berarti orang yang kejam. Jadi Anrsamsa berarti orang yang tidak kejam. 
  2. Ksama (pemaaf). Mudah memaafkan kesalahan orang lain merupakan perbuatan yang sangat terpuji. Berbuat keliru adalah sifat manusia, karena setiap orang pernah membuat kesalahan.  
  3. Satya (kebenaran, kesetiaan dan kejujuran)
  4. Ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh)
  5. Dama (mengendalikan hawa nafsu)
  6. Arjawa (tetap pendirian)
  7. Priti (welas asih). Memberi perhatian dan bantuan kepada masyarakat yang menghadapi berbagai kesulitan adalah sesuai dengan ajaran agama. Berilah bantuan kepada siapa saja yang memerlukannya. 
  8. Prasada (berpikir jernih dan suci)
    1. Madhurya (ramah tamah). Madhurya berasal dari kata madu yang berarti manis. Madhurya berarti hidup yang manis, maksudnya selalu murah senyum, ramah tamah dengan siapa saja.  
    2. Mardawa (lemah lembut). Orang yang lemah lembut akan disukai oleh kawan-kawannya. Sebaliknya orang yang berperilaku kasar akan dijauhi.  
IV.  Panca Niyama Brata
Panca Niyama Brata adalah lima cara pengendalian diri lanjutan (tahap kedua) untuk dapat tercapainya ketenangan dan ketentraman batin. Kelima cara dimaksud adalah:[11]
  1. Akrodha (tidak marah). Akrodha berasal dari kata a yang berarti tidak, dan krodha berarti marah. Jadi Akrodha berarti tidak marah.  
  2. Guru Susrusa (hormat kepada guru). Setiap orang ataupun murid haruslah menghargai dan menghormati gurunya. Pengertian guru disini adalah dalam pengertiannya yang luas, yakni: Guru Rupaka, orang tua (ibu dan bapak); Guru Pengajian, yaitu guru yang memberikan pendidikan dan pengajaran di sekolah; dan Guru Wisesa, yaitu Pemerintah yang mengayomi rakyatnya, yang beusaha mensejahterakan dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya.  
  3. Sauca (bersih atau suci). Manusia seyogyanya berhati bersih atau suci baik lahir maupun batin, jasmani maupun rohani.
  4. Aharalaghawa (makan makanan sederhana). Aharalaghawa berasal dari kata ahard yang berarti makan, dan taghawa yang berarti ringan. Dengan demikian Aharalaghawa berarti makan makanan yang ringan-ringan, yang sederhana atau makan seperlunya dan tidak berlebihan.
  5. Apramadha (tidak mengabaikan kewajiban). Apramada berarti tidak mengabaikan kewajiban, maksudnya selalu ingat dengan tugas kewajiban.
V. Dasa Niyama Brata
Dasa Niyama Brata merupakan suatu etika lanjutan dalam agama Hindu yang lebih tinggi lagi tingkatannya. Dasa Niyama Brata terdiri dari:[12]
  1. Dana (bersedekah). Dana diartikan sebagai harta benda, yaitu berupa pemberian sedekah kepada masyarakat miskin, masyarakat yang kekurangan, dan yang memerlukan bantuan. Dalam memberikan sedekah harus dilandasi dengan tulus ikhlas dan tanpa pamrih atau tanpa harapan adanya balas jasa.
  2. Ijya (memuja dan memuji Tuhan). Manusia sebagai mahkluk yang lemah harus senantiasa ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan memuja dan memuji Tuhan akan selalu mengingatkan manusia, bahwa Tuhan maha pencipta dan pemberi hidup kepada manusia, dan karena itu manusia berhutang budi kepada-Nya. Memuja dan memuji Tuhan harus dilandasi dengan jiwa yang tulus, sembah sujud, khidmat, dan penuh rasa pengabdian.
  3. Tapa (menjauhi kesenangan duniawi). Manusia diharapkan agar selalu berusaha melakukan pengendalian diri terhadap kesenangan dunia, karena  dapat membuat celaka. Mengendalikan diri dengan Tapa yaitu berusaha mengurangi kebiasaan sehari-hari, sepert  makan yang berlebihan, tidur terlalu lama, berbicara yang tidak bermanfaat, dan lain-lain. Mengurangi kebiasaan berarti mengendalikan keinginan, dan pada akhirnya manusia akan memperoleh ketenangan dan ketentraman lahir batin.
  4. Dhyana (memusatkan pikiran). Sangat dianjurkan sekali apabila seseorang sewaktu-waktu dapat memusatkan pikirannya. Ini bertujuan supaya manusia dapat mengendalikan pikirannya agar tidak memikirkan yang aneh-aneh (negative thinking), tetapi terpusat hanya kepada Tuhan semata. Dengan demikian, manusia akan dapat menyadari kebesaran Tuhan, dan memperoleh kebahagiaan lahir batin.
  5. Swadhyaya (belajar sendiri). Swa artinya sendiri, dan adhyaya artinya guru atau berguru. Dengan demikian swadhyaya berarti belajar sendiri, berusaha sendiri untuk mencapai suatu kemajuan. Disini ditekankan agar seseorang tidak malas, mau berusaha sendiri untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tanpa harus menunggu orang lain mengajarinya.
  6. Upasthanigraha (mengendalikan hawa nafsu). Kebiasaan menuruti nafsu dapat membawa manusia kepada akibat yang buruk, dan dapat mencelakakan manusia itu sendiri. Hawa nafsu yang dimaksud disini yaitu nafsu birahi (sexual). Dengan senantiasa menuruti nafsu sexual akan membuat manusia terjerumus kelembah kemaksiatan, apalagi jika nafsu tersebut diumbar diluar rumah akan menyebabkan timbulnya penyakit kotor, seperti HIV, AIDS, dan lain-lain. Untuk itu agama mengajarkan agar mansuia selalu berusaha mengendalikan hawa nafsunya. Dengan demikian akan terpelihara lingkungan yang sehat, serta kehidupan yang baik.
  7. Brata (melaksanakan pantangan). Manusia dapat melaksanakan pengendalian diri dengan melakukan berbagai pantangan. Pantangan yang dimaksud seperti pantangan makan, pantangan tidur, pantangan berbicara, dan lain-lain. Dengan terbiasa melakukan pantangan akan meningkatkan mutu pengendalian diri, dan dapat menambah ketenangan hidup.
  8. Upawasa (puasa). Dengan berpuasa seseorang akan lebih mudah mengendalikan dirinya, mengekang keinginan atau menahan hawa nafsu agar memperoleh pikiran yang bersih, jernih dan suci. Berpuasa yang dilakukan secara berkala juga dapat bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia.
  9. Mona (tidak berbicara). Pengendalian diri dengan cara ini akan membuat seseorang mudah berkonsentrasi, memusatkan pikiran hanya kepada Tuhan semata. Mona dilakuakan dengan cara tidak berbicara sepatah katapun, atau diam diri.
  10. Snana (membersihkan diri). Badan serta pakaian juga tidak luput dari kebersihan, karena dengan badan bersih dan pakaian bersih, maka pikiranpun akan menjadi jernih dan suci. Dengan demikian jalan menuju Tuhan akan menjadi terbuka lebar.
VI. Dasa Dharma
Dasa Dharma ialah sepuluh macam perbuatan baik yang patut dilaksanakan oleh umat Hindu. Dengan melaksanakan ajaran dharma ini dapat mendorong terciptanya masyarakat yang aman, tentram dan damai. Sepuluh dasa dharma tersebut ialah:[13]
  1. Dhriti (bekerja dengan sungguh-sungguh). Seseorang yang ditugaskan untuk melakukan sesuatu pekerjaan hendaknya menyelesaikan pekerjaannya dengan penuh rasa tanggung jawab, mengerjakan dengan sebaik-baiknya, dan bersungguh-sungguh. Dengan demikian akan tercapai hasil yang maksimal dan memuaskan baik bagi dirinya maupun orang lain.
  2. Ksama (mudah memberikan maaf). Ksama merupakan tindakan yang sangat terpuji bagi setiap manusia, karena setiap manusia tak pernah luput dari khilaf. Setiap orang pasti pernah berbuat salah dan oleh karena itu pada suatu saat ia pasti ingin dimaafkan pula oleh orang lain. Memberikan maaf harus dengan tulus ikhlas.
  3. Dama (dapat mengendalikan nafsu). Manusia diharapkan agar selalu bisa mengendalikan nafsu atau keinginannya. Janganlah menuruti nafsu dan keinginan karena akan dapat menyulitkan diri sendiri maupun orang lain. Nafsu tersebut berupa nafsu sexual, amarah, dan lain-lain.
  4. Asteya (tidak mencuri). Orang yang menginginkan barang orang lain atau mencuri adalah orang yang tidak bisa mengendalikan, dan selalu terjebak oleh nafsu duniawi. Orang dengan sifat seperti ini pada akhirnya akan menderita karena tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah dimiliki dan selalu ingin mengambil hak orang lain.
  5. Sauca (berhati bersih dan suci). Bersih dan suci bukan hanya badannya saja, tetapi juga pikiran dan hatinya. Dengan hati dan pikiran yang bersih maka ketentraman dan kedamaian serta ketenangan hidup akan mudah didapatkan.
  6. Indrayanigraha (dapat mengendalikan keinginan). Manusia diharapkan selalu bisa mengendalikan semua indra keinginannya atau nafsunya. Dengan demikian manusia akan lebih mudah mencapai ketenangan lahir maupun batin. Batin yang tenang dan tentram akan lebih mudah mengantarkan seseorang pada jalan kebenaran.
  7. Dhira (berani membela yang benar). Manusia harus berani membela kebenaran dimuka bumi ini. Menjunjung tinggi kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran tanpa pandang bulu dan tidak takut pada siapapun.
  8. Widya (belajar dan mengajar). Selain belajar manusia juga dituntut untuk bisa mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Dengan belajar dan mengajar akan lebih cepat tercipta masyarakat yang berpendidikan dan berbudaya, masyarakat yang maju, dan tidak bodoh serta dibodohi oleh masyarakat lain.
  9. Satya (kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran). Manusia harus mempunyai sifat setia, jujur, dan selalu berkata serta berbuat yang benar pula. Disamping itu juga harus berani bertanggung jawab terhadap apa yang dikatakan, tidak berkhianat kepada teman, dan harus menepati janji.
  10. Akrodha (tidak cepat marah). Berusahalah agar tidak marah dan cepat marah. Karena dengan kemarahan dapat menyakitkan hati orang lain, dan dapat mencelakakan dirinya sendiri. Kemarahan dapat menimbulkan kekecewaan terhadap orang lain, dan pada gilirannya orang lain akan berbalik marah kepada kita. Dalam kesehatan pun diketahui bahwa dengan cepat marah orang akan cepat tua.
VII. Catur Paramita
Catur paramita berasal dari kata catur yang berarti empat dan paramita yang berarti perbuatan luhur. Dengan demikian catur paramita berarti empat perbuatan luhur, yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu.
Catur paramita terdiri dari:[14]
  1. Maitri (bersahabat). Manusia harus mempunyai sifat-sifat bersahabat terhadap sesamanya. Manusia adalah ciptaan Tuhan, jadi manusia berasal dari sumber yang satu yaitu tuhan dan karena itu manusia semuanya bersaudara. Dengan tercapainya persaudaraan maka akan tercipta hidup tenang, tentram, dan damai.
  2. Karuna (cinta kasih). Karuna merupakan perbuatan luhur atau belas kasih terhadap orang yang kesusahan dan menderita. Sebagai mahkluk ciptaan Tuhan manusia harus saling tolong menolong rela berkorban demi orang lain, negara dan bangsa. Cinta kasih juga harus ditimbulkan terhadap binatang, tubuh-tumbuhan dan mahkluk tuhan yang lain. Dengan cara tidak memburu dan merusaknya.
  3. Mudhita (simpati). Simpati artinya turut merasakan kesusahan maupun kebahagiaan orang lain. Dengan sifat mudhita ini, manusia akan terhindar dari rasa iri hati, dengki, dan kebencian terhadap sesamanya.
  4. Upeksa (toleransi). Toleransi merupakan perbuatan luhur dalam agama Hindu yang berarti manusia harus toleran dan senantiasa memperhatikan keadaan orang lain. Sedangkan jiwanya dipenuhi dengan rasa kesetia kawanan, simpati terhadap sesamanya, dan tidak menaruh rasa dendam terhadap orang yang bermaksud jahat kepadanya.
VIII. Tri Hita Karana
Tri Hita Karana berasal dari kata tri yang berarti tiga, hita yang berarti kebahagiaan, dan karana yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana dapat di artikan dengan tiga penyebab kebahagiaan. Tiga penyebab kebahagian itu adalah:[15]
  1. Hubungan baik manusia dengan Tuhan. Manusia merupakan ciptaan tuhan, sedangkan Atman yang ada dalam diri manusia merupakan percikan sinar suci kebesaran tuhan  yang menyebabkan manusia tetap hidup. Oleh karena itu manusia wajib berterima kasih, berbakti, dan selalu sujud kepadanya.
  2. Hubungan baik manusia dengan manusia. Manusia didunia ini tidak dapat hidup sendiri, mereka membutuhkan bantuan dan kerja sama kepada orang lain. sehingga dikatakan dengan mahkluk sosial. Karena itu hubungan antara sesama manusia baik perorangan, keluarga, dan masyarakat harus selalu baik dan harmonis. Masyarakat yang aman dan damai akan menciptakan negara yang tentram dan sejahtera.
  3. Hubungan baik manusia dengan lingkungannya. Sebagai mahkluk hidup, manusia selalu dipengaruhi oleh lingkungan, baik dari perkembangan maupun pertahanan diri manusia tersebut. dengan demikian lingkungan harus dijaga dengan rapi dan sehat, tdak menebang pohon sembarangan (illegal logging), pencemaran udara, pencemaran air dan lain-lain.

BIBLIOGRAFI

Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia, 2004.
G. Pudja, dan Tjokorda Rai Sudharta. Manava Dharmasastra atau Veda Smrti.  Surabaya: Paramita, 2004.
Pudja, Gede. Agama Hindu. Jakarta: Mayasari, 1984.
Purwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1966.
Rindjin, Ketut. Etika Bisnis dan Implementasinya. Jakarta: Gramedia, 2004.
Sivanda, Sri Svami. Hari Raya dan Puasa Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita, 2002.
Subagiasta, I Ketut. Teologi, Filsafat, Etika dan Ritual dalam Suastra Hindu. Surabaya: Paramita, 2006.
Sudarsana, Putu. Ajaran Agama Hindu. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya, 2003.
Sharma. Mengapa? Tradisi dan Upacara Hindu. Surabaya: Paramita, 2007.
Suhardana, K.M. Upawasa, Tapa, dan Brata. Paramita, Surabaya, 2002.
­­­______________ Pengantar Etika dan Moralitas Hindu: Bahan Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah Laku. Surabaya: Paramita, 2006.
Wiranta, I Gede A.B. Dasar-dasar Etika dan Moralitas. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.
Wisnu, I Gede Ardhana. Mengendalikan dan Menaklukan Musuh-musuh Dalam Diri Manusia. Jakarta: Manikgeni, 2001.



[1] K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia,  2004).
[2] Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: Gramedia, 2004).
[3] W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1966).
[4] I Gede A.B. Wiranta, Dasar-dasar Etika dan Moralitas (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005).
[5] Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya,
[6] I Gede A.B. Wiranta, Dasar-dasar Etika dan Moralitas
[7] Gede Pudja,  Agama Hindu (Jakarta: Mayasari, 1984).
[8] K.M. Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu: Bahan Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah Laku (Surabaya: Paramita, 2006), h. 28.
[9] K.M. Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, h. 29.
[10] K.M. Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, h. 33.
[11] K.M. Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, h. 36.
[12] K.M. Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, h. 39.
[13] K.M. Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, h. 42.
[14] K.M. Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, h. 48.
[15] K.M. Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, h. 50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar