Di dalam sejarah, di luar surga, manusia kecewa. Tapi seperti harapan, kecewa juga lahir dari rongga yang bisa menelannya kembali. mungkin rongga itu sebenarnya rasa syukur yang luas tapi tak selalu jelas.
(Goenawan Mohamad)

Rabu, 14 Desember 2011

Panca Marga dan Panca Yadnya


Panca Marga dan Panca Yadnya
Oleh
Elina AlFianii dan Nirmatullah Efendi
Panca Marga                             
Panca marga adalah kelima buah jalan yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan moksartem jagathita.
Setiap orang bebas memilih salah satu dari keempatnya jalan ini sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing, tidak lah mestiorang harus berpegang pada salah satu marga saja, bahkan keempatnya itu hendaknya digerakan secara harmonis seperti halnya seekor burung.
Keempata panca tersebut itu adalah, bakhti marga, jnana marga, karma marga, raja marga.
Bakti marga mengutamakan penyerahan diri dan penycurahkan rasa, jnana marga mengutamakan akal yang membangkitkan kesadaran, karma marga mengutamakan kerja tanpa pamrih, dimana pengabdian sebagai motivasi  dari geraknya, sedangkan raja marga mengajarkan pengendalian diri dan konsentrasinya.
Bakti marga
Bakhti adalah cinta kasih, dimana istilah bakhti itu di pulau bali lebih ditunjukan untuk pernyataan cinta kepada seseuatu yang lebih dihormati, misalnya kehadapan ida sang hyang widhi, kepada negara, ataupun pribadi-pribadi yang lebih dihormati. Ajaran bakhti marga adalah ajaran yang langsu ng dan rill mencari tuhan, ajaran yang alamiyah, ajaran yang mudah diterima dan dilaksanakan oleh awam, ajaran yang sejuk dari permulaan, pertengahan dan akhir tetap bergerak di dalam getaran cinta kasih.
      Bakhti dibagi menjadi 2 tinggat yaitu aparabhakti dan para bakhti.
Aparabhakti adalah cinta kasih yang perwujudannya masih lebih rendah dan dipraktikan oleh mereka yang belum mempunyai tingkat kesucian yang tinggi.
Sedangkan parabhakti adalah  cinta kasih dalam perwujudanya yang lebih tinggi dan bisa di praktekan oleh orang yang jnananya tinggi dan kesuciannya sudah meningkat.[1]
Ajaran bakhti marga adalah yang mudah dilaksanakan oleh segala tingkat dan sifat manusia.
  • Gejala-gejala bakhti marga dalam kehidupan sehari-hari :a
  • Kerinduan untuk bertemu
  • Keinginan untuk berkorban
  • Keinginan untuk menggambarkan waktu menjelang remaja
  • Bakhti melenyapkan rasa takut
  • Bakhti melahirkan rasa seni
  • Bakhti melahirkan rasa terharu dan melancolis
  • Mytology[2]
Janan Marga
Dalam membicarakan jnana marga maka kita akan mengambil sumber dari upanisad atau tattwa.
Weda adalah sumber, tattwa adalah inti agama, dia tidak merupakan theori tetapi sepenuhnya harus dipercaya. Dalam tattwa, brahman dipersonifikasikan dangan nama Ciwa (bali disebut ida sanghyang widhi). Ciwa mempunyai 3 nama lagi sesuai  dengan sifat, fungsi dan aktivitasnya sebagai akibat yang ditimbulkan oleh ada tidakaya atau sedikit banyaknya pengaruh maya (prakrti) sehingga disebutkan sebagai berikut:
  • Parama Ciwa disebut juga  cetana atau purusha yang dalam istilah umumnya kita sebut tuhan
  • Sada Ciwa yang sudah  berkrida,
  • Ciwa atau Ciwatma
  • Prakrti atau maya
Karma Marga
Karma marga adalah ajaran yang menekankan pada pengabdian yang berwujud kerja tanpa pamrih untuk kepentingan diri sendiri.
Raja Marga
Raja marga mengajarkan cara mengendalikan pikiran dan konsentrasi, melalui latihan latihan yang teratur dan berkelanjutan. Manusia mempunyai tiga lapisan tubuh dalam ikatan atau hubungannya sebagai berikut:
  • Atman (jiwa) yang menyebabkan manusia hidup
  • Jasad (stula sarira) adalah merupakan alat atau kendaraan si jiwa
  • Pertemuan jiwa dengan jasad disebut pikiran suksma sarira, dia mendapat kekuatan dari atman dan mendapat bentuk dari stula sarira.



Panca Yadnya
  • Manusa yadnya
Salah satu kepercayaan agama hindu adalah menjelma kembali atau numitis. Pada waktu menjelma kembali akan dibawa pula akibat dari perbuatannya terdahulu baik atau buruk disebut “palakarma”.
Pembersihan serta pemeliharaan dalam upacara manusa yadnya lebih banyak bersifat spiritual, misalnya dengan tirta dan “nyanggang” yaitu makan secara simbolis berbagai buah buahan, jajanan, lauk pauk berupa kacang kacangan, lalap, ikan laut (gerang), telur, daging ayam ataupun itik yang dipergunakan dalam upacara.[3]
Salah satu untuk mencapai tujuan tersebut menyelenggarakan upacara manusa yadnya sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir hidupnya. Upacara upacara ini berhubungan erat dengan perubahan atau perkembngan jiwa seseorang, seumpama: Upacara penggedong gedongan merupakan penyucian pertama atas terwujudnya jasmani dalam kandungan. Upacara pemagepag merupakan penjemputan serta selamat atas kehadirannya di dunia. Upacara tutug-kambuahan merupakan penyucian saat si bayi mengenal alam lingkungannya.
  • Upacara-upacara manusa yadnya:
    • Upacara penggedongan
Pada Upacara ini sebuah gedong (bangunan gedong) yang di buat daun janur, dan didalamnya disisi sebuah bungkuk kepala gading yang dirajah seorang bayi. Dimana gedong tersebut sebagai simbul kandungan, sedangkan bungkuk kelapa gading menjadi simbul seorang bayi yang sedang dalam kandungan.
  • Bayi lahir
Pada saat menana ari-ari mempergunakan kelapa yang kulit serabutnya telah terkupas tetapi masih ada batok kelapanya dan dibelah dua, memakai ijuk, kain putih, dan rontal yang berisi tulisan atau aksara desa bayu, pisau dari bambu. Dan semua itu mengandung makna-makna tertentu.[4]
  • Kepus-puser
Upacara kupas-puser ini, semata-mata untuk melindungi si bayi dari gangguan-gangguan pada perutnya seperti masuk angin dan lainnya.
  • Upacara 12 hari
Upacara ini pada umumnya hanya peringatan saja dan akan dibuat upakara-upakara seperti pada saat dia lahir, adakalnya dilengkapi dengan persaksian serta memohon pengulakatan di dapur kepada sang bhrama, di sumur dihadapan betara wisnu) dan di merajan di hadapan betara hyng guru.
  • Upacara tutug kambuhan (1 bulan 7 hari)
Setelah si bayi berumur 42 hari (1 bulan 7 hari sejak kelahirannya), dianggap sudah waktunyalah untuk megembalikan sinyama bajang itu ketempatnya agar tidak mengganggulagi, dan sebagai gantinya yaitu dengan dua ekor itik.
  • Upacara nyambutan (3 bulan)
Bila si bayi sudah mencapai umur 3 bulan, pada saat itu jasmaninya sudah cukup mendapatkan penyucian, maka diselenggarakan lah upacara Nyambutan yang merupakan simbolis untu menjeput jiwa Atma-si bayi.
  • Upacara satu oton
Upacara oton ini bisa disamakan dengan upacara ulang tahun,  karna kita ‘otonan’ berasal dari kata ‘wetuan’ yang berarti ‘kelahiran’, dengan demikian upacara satu oton itu merupakan ulang tahun pertama si bayi.
  • Upacara ngempugin (tumbuh gigi)
Apabila si bayi tumbuh gigi yang pertama akan dibuatkan suatu upacara yang disebut ‘ngempungin’ dimana dilakunyya pada waktu matahari terbit.
  • Upacara mekupak (meketus)
Upacara ini untuk pertamakalinya gigi si anak tunggal (meketus) akan dibuatkan upacara sejak itu si anak mulai dipersiapkan untuk mempelajari ilmu pengetahan dan untuk pertama kali pula dibuatkan pe-byakalaan dan prayascita, serta tatabananya dilengkapi dengan sesayut, sebagai penggani dari pada jejangan atauun penyambutan.
  • Upacara munggah deha/ teruni (meningkat dewasa)
Upacara ini menandakan kedewasaan yang umumnya diketahui bagi anak laki’’ ialah suaranya mulai membesar tidak teratur, sedangkan untuk anak perempuan ialah datang bulan. Pada umumnya Upacara dititik beratkan kepada perempuan. Hal ini mungkin disebabkan karna perempuan dianggap lemah, serta lebih banyak menanggung akibat daripada pertimbangan-pertimbangan yang keliru terutama mengenai Asmara.
  • Upacara mepanes (potong gigi)
Upacara memotng gigi dilakukan pada anak laki-laki yang sudah berumur 16 tahun ke atas, dan anak perempuan yang sudah datang bulan. Menurut kepercayaan Hindu manusia di gerakan oleh tiga guna yang disebut juga ‘trigunasakti’ yaitu Gun-satwam, Guna-rajas, Guna tamas. Dan dari guna rajas dan guna tamas, menyebabkan timbulnya 6 sifta yang dianggap kurang baik, yang disebut pula ‘sad-ripu’ seperti;
  1. Kama, (keinginan-keinginan)
  2. Krodha, (kemarahan)
  3. Lobha, (ketamakan/loba)
  4. Moha, (kemabukan)
  5. Mada, (congkak, angkuh/lengah)
  6. Matsarya, (iri-hati)
  • Upacara perkawinan
Upacara perkawinan merupakan suatu persaksian baik kehadapan I.S.W ataupun kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan mengikatkan diri pada sebagai suami-istri, dan segala akibat perbuatanya menjadi tanggung jawab mereka bersama.
  • Upacara mewintan
Dalam hal ini upacara pewintenan dalam hal ini untuk memohon waranungraha akan mempelajari ilmu pengetahuan, seperti kesusilaan, keagamaan, dan sebagainya.
  • Bhuta yadnya
Butha yadnya terbagi menjadi dua bhuta kala dan bhuta sesa.
  • Ø Butha kala. Kata bhuta berasal dari kata “bhu” yang artinya menjadi, ada, gelap, berbentuk makhluk kemudian menjadi kata “bhuta” yang artinya telah dijadikan atau diwujudkan. Sedangkan kata “kala” yang artinya energi, waktu. Bhuta kala artinya energi yang timbul yang mengakibatkan kegelapan.
Pengertian secara filsafat agama bahwa bhuta kala itu adalah suatu kekuatan yang timbul seperti akibat terjadinya suatu kekuatan di alam semesta beserta isinya sehingga menimbulkan etos kerja. Kekuatan ini dapat mengakibatkan keharmonsian antara bhuana agung dengan bhuana alit, dan dapat juga menimbulkan ketidakharmonisan antara bhuana agung dan bhuana alit.[5]
a)    Bentuk bentuk upakara caru
Upacara caru memiliki bentuk dan struktur yang berbeda-beda menurut fungsi dan lokasi pelaksanaaanya berdasarkan perhitungan samkhaya (urip) disesuaikan dengan arah mata angin. Mengenai pengertian tentang upakara caru, kebanyakan umat hindu memiliki presepsi bahwa caru tersebut adalah merupakan sang tampan bhuta kala setelah mecaru dianggap bhuta kala telah kenyang dan tidak lagi mengganggu manusia. Anggapan demikian diluruskan menjadi upakara caru tersebut adalah merupakan simbolisasi dari perbuatan bhuta kala bukan merupakan makanan bhuta kala.
Korban suci yanag dipakai adalah hewan unggas seperti anjing, ayam, itik, babi, kerbau, sapi, kambing dan lainnya sesuai dengan fungsinya.  Besar kecil upakara caru tergantung dari kebutuhan kebutuhan saat tertentu dan lokasi dimana dilakukan pecaruan tersebut. Adanya korban suci memakai bermacam-macam binatang karena kekuatan bhuta kala memiliki spektrum pengaruh, dengan kata lain makin luas spektrumnya makin ditambah korbannya sehingga menjangkau kebutuhan dari tujuan-tujuan penetralisirannya.[6]
b)   Fungsi upacara caru
Mengenai fungsi upakara caru memiliki beberapa fungsi sesuai dengan kebutuhan umat hindu dan kebutuhan situasi alam atau situasi negara yang memerlukan ketenangan dan kedamaian. Fungsi upakara caru antara lain:
  1. Sebagai penetralisir kekedurmengalan
  2. Sebagai penetralisir kaprewesan
  3. Sebagai penetralisir merana (penakluk merana)
  4. Sebagai pengeruat (penyucian)
  5. Sebagai titi mamah
  6. Sebagai pembangkit tenaga energi alam (kekuatan gaib)
  7. Sebagai sarana kelepasan
  8. Sebagai penahan perbuatan salah (dosa)
  • Ø Upacara yadnya sesa
Untuk mendapatkan makna dan fungsi dari masing –masing yadnya sesa tersebut sebaiknya dicari dulu mengenai artinya, antara lain:
Yadnya dapat diartikan bahwa segala perbuatan kebajikan itu dikatakan yadnya, demikian juga yadnya dapat dikatakan korban suci.
Sesa berasal dari kata wisesa yang dapat diberikan arti religious yang mengandung sifat-sifat pengeruat (penyupatan). Dan yadnya sesa adalah sama seperti yadnya lainnya merupakan niyasanya (simbol) dari kekuatan-kekuatan diluar manusia yang dapat memberi arti sebagai penyupatan, untuk memelihara, keserasian, dan keselarasan alam semesta dengan isinya termasuk manusia.[7] Dengan demikian yadnya sesa adalah salah satu bentuk yadnya yang memiliki makna dan fungsi sebagai pembangkit kekuatan religius agar terjadi integrasi antara kekuatan diluar manusia dengan kekuatan manusia agar terciptanya kembali keseimbangan tersebut sesuai dengan ajaran trihita karana.
  • Korban suci yang tergolong yadnya sesa antara lain:
  1. Segehan kepel
  2. Segehan sasah
  3. Segehan agung
  4. Segehan saiban
  5. Segehan wong-wongan
  • Pitra yadnya
Pelaksanaan upacara pitra yadnya telah dilaksanakan umat hindu dari dulu hingga sekarang dan menjadi pedoman keyakinan dan kepercayaan sebagai salah satu pengalaman ajaran agama hindu khususnya di Bali.
Pitra adalah arwah, hanya sebutannya dipandang dari “PUJA PITRA”.
Pitra berasal dari kata pitri yang artinya unsur-unsur kekuatan panca maha bhuta yang membentuk stula sarira (jasad).
Ruanag lingkup dan fungsi dari upacara pitra yadnya
Mengenai ruang lingkup dari pelaksanaan pitra yadnya, memiliki ruang lingkup yang luas terhitung dari pelaksanaan upacara atiwa-tiwa sampai pelaksanaan nila pati. Demikian juga pada saat tatanan upacaranya terbagi-bagi menjadi beberapa tatanan upacara kecil dan tidak bisa dilewatkan begitu saja karena upacara pitra yadnya merupakan penjabaran dari tattwa agama hindu, serta merupakan tindakan nyat a dari pengalaman ajaran weda, oleh karna itu setiap pelaksanaan dari upacara agama telah terlaksananya esensi-esensi dari ajaran weda seperti ajaran brahmana, ajaran mantra, ajaran aranyaka, dan ajaran ufanisad.
Dari keempat esensi ajaran weda tersebut telah diintegrasikan kedalam suatu acara agama, merupakan suatu kesatuan yang utuh, dan akhirnya aturan agama menjadi tiga kerangka agama yang pelaksanaanya tidak boleh dilaksanakan secara terpisah, dan tiga kerangka tersebut adalah:
  • Adanya tattwa
  • Adanya ethika (ritual)
  • Adanya upacara dan upakara
    • Fungsi dari upacara pitra yadnya
Menurut keyakinan kepercayaan dari ajaran agama hindu berlandaskan ajaran pnca yadnya, umat hindu khususnya melaksanakan upacara pitra yadnya, mempereteka orang yang meninggal, sebagai proses pengemabalian panca maha bhutanya kepada sumbernya:
  1. Sebagai jalan agar bisa melaksanakan pembayaran hutang terhadap leluhur (rna)
  2. Agar memiliki kesempatan untuk bisa melaksanakan ajaran putra sesana dan aji sesana, sehingga dapat melahirkan anak yang suputra dan aji sadhu dharma
  3. Untuk mempercepat proses pengembalian unsur-unsur panca maha bhuta
  4. Sebagai jalan untuk peleburan dosa-dosa leluhurnya atas karma baik dari keturunannya
  5. Memberikan kesempatan kepada masyarakat lingkungannya untuk berkarma yang baik.
 DAFTAR PUSTAKA

Sudarsana, Putu. Ajaran Agama-Hindu (Upacara Pitra Yadnya), Denpasar; Yayasan Dharma acarya percetakan mandra sastra, 2002
Cudamani. Materi Kuliah Agama Hindu di perguruan tinggi umum.
Sudarsana, Putu. Ajaran Agama-Hindu (Upacara Bhuta Yadnya), Denpasar; Yayasan Dharma acarya percetakan mandra sastra, 2001
Agus Mas Putra, Gusti. Upakara Yadnya, Denpasar
Agus Mas Putra, Gusti. Upacara Manusa Yadnya. cet, ke III, jakarta; 1987
Sudarsana, Putu. Ajaran Agama Hindu (Uparengga), Denpasar; Yayasan dharma acarya percetaakan mandra sastra, 2000


[1] Cudamani, materi kuliah  agama hindu di perguruan tinggi umum, h. 24
[2] Cudamani, materi kuliah  agama hindu di perguruan tinggi umum, h. 26-32
[3] Nyi gusti agung mas putra, upacara manusa yadnya, h.  vi
[4] Putu, Sudarsana, ajaran agama hindu (uparengga), h. 70.
[5] Drs. i. B. Putu sudarsana, ajaran agama hindu(makna upacara bhuta yadnya), h. 9
[6] Drs. i. B. Putu sudarsana, ajaran agama hindu(makna upacara bhuta yadnya), h. 28
[7] Drs. i. B. Putu sudarsana, ajaran agama hindu ( makna upacara bhuta yadnya), h. 67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar